
Kali ini Presiden Prancis Emmanuel Macron memuji aksi Samuel Paty yang menghina Nabi SAW dan bersumpah untuk melanjutkan perjuangan kebebasan berpendapat ini. Pernyataan Macron tersebut sangat menyinggung dan menyakiti kaum Muslimin yang di dadanya masih ada keimanan.
Dengan keimanan tersebut, seorang Muslim akan mempunyai rasa cemburu (girah). Dalam konteks beragama girah merupakan konsekuensi dari iman. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Ini pertanda masih adanya girah di dalam dirinya. Bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini.
Menurut Buya Hamka, “Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah girah telah hilang darimu. Jika girah tidak lagi dimiliki oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dari segala sisi. Jika girah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan girah sama dengan mati.”
Girah dari negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia muncul demi membela Nabi SAW. Mereka mengutuk pernyataan Macron dan menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis. Pengguna sosial media di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab turut menyerukan aksi boikot terhadap raksasa supermarket Prancis, Carrefour. Pedagang di Yordania, Kuwait dan Qatar telah memindahkan barang-barang Prancis dari rak-rak toko. Sementara Universitas Qatar telah membatalka pekan budaya Prancis. Ada juga protes yang diadakan di Irak, Suriah, Libya, Jalur Gaza dan Bangladesh. Aksi protes ini diikuti puluhan ribu demonstran. Mereka membakar patung Macron.
Sebenarnya, islamophobia yang lahir dari ketakutan Barat pada Islam. Kebebasan berekspresi yang menjadi dalih atas penghinaan Nabi adalah wujud inkonsistennya demokrasi. Di negeri itulah demokrasi modern lahir. Sebuah sistem yang masih dianut mayoritas negara di dunia termasuk Indonesia. Dengan mengusung nilai kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan lahirlah liberalisme, HAM dan sekularisme.
Perancis sang guru dan pelopor demokrasi menunjukkan bahwa inti dari demokrasi dan kebebasan adalah perlawanan terhadap Islam. Pada saat yang sama, Prancis sedang merenggut hak Muslim untuk bebas beragama. Kaum Muslim harus memahami, islamophobia sengaja dihembuskan Barat merupakan wujud kebencian yang nyata dari mereka. Upaya Barat dalam menciptakan islamophobia di tengah masyarakat dunia adalah bentuk ketakutan mereka terhadap kebangkitan Islam. Barat sangat menyadari peradaban busuk yang mereka terus pertahankan perlahan akan mati ditelan kerusakannya sendiri. Maka, segala daya dan upaya dilakukan untuk membendung tegaknya Khilafah Islam.
Karena itu Khaled Abou el-Fadl, seorang professor di UCLA School of Law, merekomendasikan narasi alternatif demi menghilangkan keywords dalam Islam yaitu khilafah, jihad dan hijrah.
Hijrah adalah bentuk berpindahnya pola pikir dan tingkah lakunya. Wajar jika Marcon tengah menghilangkan narasi tersebut dengan menggodok RUU yang menguatkan paham sekularisme dalam upayanya menandingi separatis Islam di dalam negerinya. Begitu pun jihad, negara Islam dan khilafah yang merupakan kekuatan kaum Muslim, sengaja dilemahkan dan dikaburkan.
Pelabelan Islam radikal terhadap Muslim yang menginginkan diterapkannya syariat Islam secara kaffah, menghadirkan Islam moderat sesuai arahan Barat adalah upaya mereka menjegal kebangkitan Islam.
Bukan pertama kalinya majalah Charlie Hebdo menghina Islam. Pada 2015, mereka pernah mencetak ulang karikatur Nabi SAW yang berakhir dengan penyerangan kantor majalah tersebut. Berulang kali Islam dilecehkan, dihina dan diolok-olok. Berulang kali pula negeri Muslim mengecam, mengutuk dan memboikot. Namun, apakah dengan kecaman itu Prancis kapok? Apakah dengan pemboikotan, negara mereka bangkrut? Apakah dengan pengusiran duta besar, Prancis takut?
Sampai sekarang mereka tetap baik-baik saja. Malah bertambah arogansinya. Tak merasa salah dan enggan meminta maaf. Semua berlaku atas nama kebebasan. Meski demikian, kita patut mengapresiasi respons umat yang marah karena Nabi SAS dihina. Ekspresi itu ditunjukkan dengan kecaman, Kutukan, pemboikotan produk dan tuntutan pengusiran duta besar Prancis. Hanya saja, umat Islam dunia bagai buih di lautan. Banyak, tapi tak memiliki kekuatan.
Hanya berbekal lisan dan seruan. Tapi lemah menghadapi penghinaan Nabi SAW yang dilakukan kaum kafir. Andai saja Erdogan, Jokowi, raja Saudi, Presiden, Perdana Menteri negara Arab dan negeri Islam lainnya menyatukan seruannya mengancam akan memerangi Prancis bila tak berhenti menerbitkan karikatur Nabi Saw, barulah Prancis mungkin akan takut. Sayangnya, sekat nation state memustahilkan hal itu.
Yang dilakukan pemimpin Muslim itu sekadar mengecam. Adakah pemimpin-pemimpin muslim berani memutus hubungan diplomatik dan menyeru jihad kepada kaum muslim? Sebagaimana yang sudah pernah terjadi, panasnya bela Nabi Saw akan menyurut seiring berjalannya waktu.
Inilah kelemahan umat. Tersekat oleh paham nasionalisme. Tak punya kekuatan bersatu padu melawan dan menekan Prancis ataupun Barat baik secara politik maupun ekonomi. Para pemimpin muslim lebih memikirkan dampak buruknya bila terus berkonfrontasi dengan Prancis. Mereka lebih mengutamakan kepentingan nasional negara masing-masing dibanding membela kehormatan Nabi SAW.
Nasionalisme telah mengerat tubuh umat Islam menjadi puluhan negara. Dulu, saat khilafah masih digdaya, Prancis yang ingin mengadakan teater mengenai Nabi SAW pun dibuat merinding dengan ancaman Khalifah Abdul Hamid II. Muruah kaum Muslim disegani dunia saat khilafah masih berdiri tegak.
Namun, kemuliaan itu sirna setelah khilafah hancur akibat paham nasionalisme. Barat membagi-bagi wilayah khilafah dengan konsep nation state dan mengoyak tubuh khilafah menjadi bagian-bagian kecil negeri Muslim sebagaimana kita saksikan hari ini. Umat pun tercerai-berai, tersandera kepentingan nasional masing-masing. Karena Islam tak memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan tunggal.
Menghadapi negara seperti Prancis itu harus dengan kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan mereka. Pernyataan Macron mestinya menyadarkan kita semua bahwa tanpa kekuatan politik, umat tak berdaya. Tanpa institusi yang menjalankan politik pemerintahan, Islam akan terus ditindas dan dihina.
Umat butuh persatuan. Bukan hanya persatuan karena bersatunya perasaan, namun juga bersatunya pemikiran. Tatkala perasaan dan pemikiran menyatu, bukan tidak mungkin rumah besar umat akan terwujud. Rumah besar kita sebagai umat terbaik adalah khilafah Islamiyah, bukan demokrasi sekuler.
Umat membutuhkan persatuan politik dan ukhuwah Islam, agar muncul kembali sosok Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang disegani Barat. Agar terlahir kembali sosok Khalifah Abdul Hamid II yang tegas membela kehormatan Rasulullah dan Islam. Khilafah menjadi urgensi yang tak bisa ditunda lagi. Dengan khilafah, penghina Nabi SAW merasakan efek jera. Tanpa khilafah, Islam hanya akan jadi tempat bully-an para pembencinya.
Facebook Conversations